Sunday, February 06, 2011

The Kite Runner
(by Khaled Hosseini)

When we were children, Hassan and I used to climb the poplar trees in the driveway of my father’s house and annoy our neighbors by reflecting sunlight into their homes with a shard of mirror. We would sit across from each other on a pair of high branches, our naked feet dangling, our trouser pockets filled with dried mulberries and walnuts. We took turns with the mirror as we ate mulberries, pelted each other with them, giggling, laughing; I can still see Hassan up on that tree, sunlight flickering through the leaves on his almost perfectly round face, a face like a Chinese doll chiseled from hardwood: his flat, broad nose and slanting, narrow eyes like bamboo leaves, eyes that looked, depending on the light, gold, green, even sapphire I can still see his tiny low-set ears and that pointed stub of a chin, a meaty appendage that looked like it was added as a mere afterthought. And the cleft lip, just left of midline, where the Chinese doll maker’s instrument may have slipped; or perhaps he had simply grown tired and careless.

Sometimes, up in those trees, I talked Hassan into firing walnuts with his slingshot at the neighbor’s one-eyed German shepherd. Hassan never wanted to, but if I asked, _really_ asked, he wouldn’t deny me. Hassan never denied me anything. And he was deadly with his slingshot. Hassan’s father, Ali, used to catch us and get mad, or as mad as someone as gentle as Ali could ever get. He would wag his finger and wave us down from the tree. He would take the mirror and tell us what his mother had told him, that the devil shone mirrors too, shone them to distract Muslims during prayer. “And he laughs while he does it,” he always added, scowling at his son.
Ketika Cinta Bertasbih
(by : Habiburrahman El Shirazy)

Belum begitu lama menghirup udara Mesir, gadis yang memiliki suara jernih itu langsung menunjukkan prestasinya. Kontan, ia langsung jadi pusat perhatian. Sebab baru satu bulan di Cairo, tulisan opininya dalam bahasa Inggris sudah dimuat di koran Ahram Gazzette. Opininya menyoroti peran Liga Arab yang mandul dalam memperjuangkan martabat anggota-anggotanya. Liga Arab yang tak punya nyali berhadapan dengan Israel dan sekutunya. Liga Arab yang hanya bisa bersuara, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tulisannya rapi,
runtut, berkarakter, tajam dan kuat datanya. Orang dengan pengetahuan memadai, akan menilai tulisannya merupakan perpaduan pandangan seorang jurnalis, sastrawan dan diplomat ulung.

Karena opininya itulah ia langsung diminta jadi bintang tamu di Nile TV. Di layar Nile TV ia berdebat dengan Sekjen Liga Arab. Hampir seluruh masyarakat Indonesia di Mesir menyaksikan siaran langsung istimewa itu. Baru kali ini ada anak Indonesia berbicara di sebuah forum yang tidak sembarang orang diundang. Sejak itulah Eliana menjadi bintang yang bersinar di langit cakrawala Mesir, terutama di kalangan mahasiswa Indonesia.

[Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy, halaman 3]
By the river Piedra I sat down and wept (by Paulo Coelho)

~But wisdom is justified by all her children. ~ (Luke 7:35)


By the river Piedra I sat down and wept. There is a legend that everything that falls into the waters of this river—leaves, insects, the feathers of birds—is transformed into the rocks that make the riverbed. If only I could tear out my heart and hurl it into the current, then my pain and longing would be over, and I could finally forget.

By the river Piedra I sat down and wept. The winter air chills the tears on my cheeks, and my tears fall into the cold waters that course past me. Somewhere, this river joins another, then another, until far from my heart and sight all of them merge with the sea.

May my tears run just as far, that my love might never know that one day I cried for him. May my tears run just as far, that I might forget the River Piedra, the monastery, the church in the Pyrenees, the mists, and the paths we walked together.

I shall forget the roads, the mountains, and the fields of my dreamsthe dreams that will never come true. I remember my "magic moment"that instant when a "yes" or a "no" can change one's life forever. It seems so long ago now. It is hard to believe that it was only last week that I had found my love once again, and then lost him. I am writing this story on the bank of the River Piedra. My hands are freezing, my legs are numb, and every minute I want to stop.

"Seek to live. Remembrance is for the old," he said.

Perhaps love makes us old before our time or young, if youth has passed. But how can I not recall those moments? That is why I write to try to turn sadness into longing, solitude into remembrance. So that when I finish telling myself the story, I can toss it into the Piedra. That's what the woman who has given me shelter told me to do. Only then in the words of one of the saints will the water extinguish what the flames have written.

All love stories are the same.
Habis Gelap Terbitlah Terang

21 Januari 1901


(Kepada Nyonya Abendanon)

Telah lama dan telah banyak saya memikirkan perkara pendidikan, terutama dalam beberapa waktu yang akhir ini, dan pendidikan itu saya pandang kewajiban yang mulia dan suci, sehingga saya pandang suatu kejahatan jika saya menyerahkan tenaga kepada usaha mendidik itu, sedangkan saya belum mempunyai kecakapan yang penuh. Haruslah ternyata dahulu adakah saya sanggup menjadi pendidik atau tidak. Pendirian saya, pendidikan itu ialah mendidik budi dan jiwa. Biarpun tiada orang yang tak bersebang hati akan saya, sekali-kali saya tiada akan senang akan diri saya sendiri, sesudah jadi guru, lalu saya merasa tidak sanggup melakukan kewajiban saya menurut barang yang sepatutnya diperbuat oleh pendidik yang baik, seperti saya kehendaki.

Rasa-rasanya kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja, boleh dikatakan selesai; dia harus juga bekerja mendidik budi meskipun tidak ada hukum yang nyata mewajibkan berbuat demikian, perasaan hatinya yang mewajibkan berbuat demikian. Dan saya bertanya kepada diri saya sendiri: sanggupkah saya? Saya, yang masih perlu juga lagi dididik ini? Acapkali saya dengar orang berkata, bahwa kehalusan budi itu akan datang dengan sendirinya, jika pikiran sudah cerdas, bahwa oleh pendidikan akal budi itu dengan snedirinya menjadi baik dan halus; tetapi setelah saya perhatikan maka saya berpendapatan. --sungguh kecewa-- bahwa tiadalah selamanya benar yang demikian itu; bahwa tahu adab dan bahasa serta cerdas pikiran belumlah lagi jadi jaminan orang hidup susila ada mempunyai budi pekerti.

Dan orang yang tetap tiada berbudi, biarpun pikirannya sudah cerdas benar, tiadalah boleh dipisahkan benar, karena umumnya pendidikannyalah yang salah; orang telah banyak, bahkan sudah sangat banyak mengikhtiarkan kecerdasan pikirannya, tetapi apakah yang telah diperbuat orang akan membentuk budinya? Suatupun tiada!

Dengan sepenuh hati saya benarkan pikiran suami Nyonya, yang demikian jelasnya tertulis dalam surat edaran tentang perkara pengajran bagi gadis Bumiputra: Perempuan itu jadi soko guru peradaban! Bukankarena perempuan yang dipandang cakap untuk itu, melainkan oleh karena saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar, yang besar akibatnya, dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu memajukan kesusilaan manusia.

Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya --di haribaannyalah anak itu belajar merasa dan berpikir, berkata-kata: dan makin lama makin tahulah saya, bahwa didikan yang mula-mula itu bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian harinya. Dan betapakah ibu Bumiputra itu sanggup mendidik anaknya, bila mereka itu sendiri tiada berpendidikan?

Karena itulah saya sangat gembira akan maksud yang mulia itu hendak menyediakan bagi gadis Bumiputra pendidikan dan pengajaran; sudah lama saya maklum, bhawa itulah saja yang dapat mengubah kehidupan kami perempuan Bumiputra yang sedih ini. Dan pengajaran untuk gadis-gadis itu bukan kepadaperempuan itu saja akan mendatangkan rahmat, melainkan pun kepada masyarakat Bumiputra seluruhnya.


[Habis Gelap Terbitlah Terang, karya Armijn Pane, halaman 78-79, Penerbit Balai Pustaka]